Sabtu, 28 Januari 2023

BERSUNGGUH-SUNGGUH MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PEMERINTAH

 


Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Pada artikel kali ini, akan dibahas tentang pentingnya mendoakan kebaikan untuk pemerintah pada semua keadaan. Agama Islam Membimbing Umatnya Mendoakan Kebaikan untuk Pemerintah. 

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Agama ini adalah an-Nashiihah.” Kami (para sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-nya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim ad-Daari radhiyallahu anhu)

Di antara makna “an-Nashiihah” adalah keikhlasan atau ketulusan. (Lihat al-Mufhim Limaa Asykala Min Talkhish Kitab Muslim 1/168 dan Talkhis al-Mu’in ‘Ala Syarh al-Arba’in hlm. 57)

An-Nawawi menyebutkan pendapat al-Khaththabi ketika menjelaskan bahwa di antara cakupan “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada para pemimpin kaum muslimin adalah, ِ “Mereka (para pemimpin) didoakan dengan kebaikan.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj 1/144)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan,“Termasuk dalam ‘an-Nush (an-Nashiihah)’ adalah mendoakan mereka (para pemimpin) agar diberi taufik, hidayah, niat dan perbuatan yang baik, serta teman dekat yang baik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/209)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah. 

Ketika kita berdoa, biasanya kita akan memulai dengan diri sendiri, orang tua, istri, anak-anak, keluarga, kerabat, pekerjaan, rezeki, dll. Setelah kita mengilmui pembahasan di atas, hendaknya kita sisipkan pula di sela-sela lantunan doa kita untuk menyebut pemerintah kita dan mendoakannya supaya diberi taufik, petunjuk, pertolongan, dan segala kebaikan yang lain. Saudaraku, jangan sampai terlupa dalam untaian doa-doa, kita memohon kepada Allah agar pemerintah dijauhkan dari segala keburukan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita hidayah dan taufik untuk ikhlas dalam berdoa.

Para Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Mendoakan Kebaikan untuk Penguasa  

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Sebagaimana dijelaskan bahwa ketaatan kepada pemerintah dalam perkara selain maksiat, merupakan salah satu prinsip agung Ahlussunnah Wal Jamaah. Para ulama pun selalu menerangkan prinsip tersebut dalam kitab-kitab mereka. Tidak cukup sampai di situ, para ulama juga menjelaskan perkara yang lebih khusus dari itu, yaitu mereka menjadikan doa untuk pemerintah agar mendapatkan taufik, perbaikan, dan kelurusan; termasuk dalam salah salah satu prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah.

Mari kita cermati dan perhatikan beberapa perkataan para ulama berikut ini: 

1. Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah (wafat 321 H) menjelaskan dalam kitabnya yang terkenal, Al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (hlm. 84—85), 

“Kami berkeyakinan bahwa ketaatan kepada pemerintah merupakan ketaatan kepada Allah Ta’ala yang wajib dilaksanakan, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Dan (hendaklah) kita mendoakan mereka (pemerintah) agar mendapatkan kebaikan dan penjagaan.” 

2. Imam Abu Muhammad al-Barbahari rahimahullah (wafat 329 H) dalam kitabnya Syarh as-Sunnah (hlm. 114) mengatakan,

“Kita diperintahkan (oleh syariat) untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan kejelekan bagi mereka, walaupun mereka berbuat zalim dan jahat. Sebab, kezaliman dan kejahatan mereka akan mereka pertanggungjawabkan sendiri; sedangkan kebaikan mereka, selain kemaslahatannya untuk diri mereka sendiri, juga (kemaslahatannya) untuk kaum muslimin.” 

3. Imam Abu Bakr al-Isma’ili (wafat 381 H) dalam kitabnya I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah (hlm. 57) mengatakan, 

“Mereka (yakni Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat, bahwa shalat (wajib), shalat jumat, dan selainnya; hendaklah dilaksanakan di belakang seorang pemimpin yang muslim, baik (pemimpin tersebut) taat maupun jahat, … dan (Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat bahwa (kaum muslimin hendaklah) mendoakan kebaikan bagi pemerintahnya dan agar mereka dibimbing kepada keadilan.” 

4. Imam Abu ‘Utsman ash-Shabuni (wafat 449 H) rahimahullah dalam kitab beliau ‘Aqidah as-Salaf wa Ashhab al-Hadits (hlm. 294) mengatakan,

“Ashhabul hadits (Ahlussunnah Wal Jamaah) berpendapat untuk mendoakan para pemimpin agar semakin baik, mendapatkan taufik dan kebaikan, dan menebarkan keadilan kepada rakyat.” 

Salah Satu Contoh Praktik Ulama Salaf dalam Mendoakan Pemerintah 

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah. 

Para ulama tidak sekadar mencukupkan diri dengan menggoreskan kalimat-kalimat di atas dalam karya-karya mereka. Akan tetapi, mereka menerapkannya dalam amal kehidupan mereka dan menyerukannya dengan lisan-lisan mereka di hadapan khalayak. Mereka melakukannya dalam rangka mengajari dan membimbing kaum muslimin untuk mengamalkan salah satu prinsip yang agung ini, yaitu mendoakan kebaikan bagi penguasanya. 

Berikut ini sebuah contoh dari seorang Imam Ahlussunnah Wal Jamaah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. 

Bersamaan dengan banyaknya nukilan dari Imam Ahmad dalam membimbing kaum muslimin untuk menaati penguasa dan mendoakan mereka (lihat sebagian contohnya pada kitab Manaqib al-Imam Ahmad karya Ibnul Jauzi hlm. 506 dan 509); beliau juga senantiasa mendoakan kebaikan untuk penguasa. Terkhusus jika nama pemimpin itu disebutkan di hadapan beliau atau ketika beliau teringat kepada penguasa dalam sebuah pembahasan. 

Abu Bakr al-Maruzi menceritakan, “Saat disebutkan nama Khalifah al-Mutawakkil, aku mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) berkata,“Sungguh, aku selalu mendoakannya agar mendapatkan kebaikan dan kesehatan.” (As-Sunnah karya al-Khallal hlm. 84) 

 Ahmad bin Husain bin Hasan (salah seorang murid Imam Ahmad) menceritakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad) ketika ditanya tentang masalah ketaatan kepada pemimpin negara, maka beliau mengangkat tangannya seraya berdoa,‘Semoga Allah menjaga sultan (pemimpin), sudah seharusnya (sultan ditaati). Subhanallah! Sultan!’” (Lihat al-Masail wa ar-Rasail al-Marwiyyah ‘an al-Imam Ahmad 2/4) 

 Ucapan Imam Ahmad “sudah seharusnya” maksudnya ialah ketaatan kepada sultan (pemimpin) adalah wajib. Adapun ucapan beliau “Subhanallah! Sultan!” terdapat pengagungan terhadap kedudukan pemimpin dan ketaatan kepadanya. (ad-Du’aa` Li Wulatil Amr, Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan—Kerajaan Arab Saudi, hlm. 15) 

Bahkan, Imam Ahmad begitu bersungguh-sungguh membimbing umat untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah. Beliau mengatakan sebuah pernyataan yang sangat masyhur yang kemudian menjadi suatu kalimat hikmah yang dinukil dari lisan ke lisan sampai hari ini, yaitu,“Seandainya kami mempunyai sebuah doa yang terkabul, maka pasti akan kami gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin negara).” (as-Siyasah asy-Syar’iyyah hlm. 129) 

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah. 

Jika kita mencermati dan merenungi perkataan-perkataan Imam Ahmad di atas, kita akan memahami, betapa besar kadar keilmuan beliau serta jauhnya pandangan beliau. 

Pertama, beliau bersungguh-sungguh mengajarkan prinsip mendengar dan taat kepada pemerintah (dalam perkara selain maksiat). 

Kedua, beliau membimbing agar manusia membiasakan lisan mereka untuk mendoakan pemerintah dengan doa yang tulus dan memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada pemerintah dan membimbing mereka menuju kebenaran. (ad-Du’aa` Li Wulatil Amr, Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Kerajaan Arab Saudi, hlm. 9)

Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin mengamalkan salah satu kandungan syariat “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada pemerintah. Demikian pula, hendaklah kaum muslimin yang mengaku ingin menempuh jalannya para salaf; mereka sepantasnya tidak lupa mendoakan kebaikan untuk pemerintah dalam untaian doa-doa yang mereka panjatkan. Duhai kiranya orang-orang yang menyibukkan diri dengan mencela dan menjatuhkan kehormatan pemerintah itu mau menahan diri dari perbuatan mereka. Kemudian, mereka menggantinya dengan doa kebaikan; sungguh itu lebih baik bagi mereka. Sebab, menyibukkan diri dengan mencela dan menjatuhkan kehormatan pemerintah tidak akan memperbaiki keadaan. Perbuatan itu hanya menimbulkan dendam di dada dan mengakibatkan bertambahnya dosa-dosa. 

 Al-Hafihz Abu Ishaq as-Sabi’i mengatakan,“Tidaklah suatu kaum mencela pemimpin mereka, kecuali akan dihalangi dari kebaikan pemimpin tersebut.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid Limaa fi al-Muwaththa` min al-Ma’ani wa al-Asanid, 21/287) 

Permohonan kepada Para Khatib, Mubalig, dan Tokoh Agama untuk Membimbing Umat Mendoakan Kebaikan bagi Pemerintah 

Yang kami hormati, Para khatib, dai, ustadz, ustadzah, mubalig, tokoh agama, dan tokoh masyarakat rahimakumullah. Dengan segala kerendahan hati, sungguh, Anda adalah panutan masyarakat. Ucapan dan perkataan Anda lebih didengar dan dituruti daripada ucapan selain Anda. Oleh karena itu, kami memohon supaya Anda ikut andil menjelaskan tentang pentingnya ketaatan kepada pemerintah (dalam perkara selain maksiat) dan larangan mencela pemerintah. Demikian pula, hendaklah Anda mengingatkan dan membimbing kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan kebaikan untuk pemerintah, serta menerangkan kepada umat bahwa hal tersebut adalah termasuk “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada pemerintah dan merupakan metode yang ditempuh para ulama salaf; seraya diiringi penjelasan tentang manfaat dan faedah-faedah mendoakan kebaikan untuk pemerintah. Tak lupa kami mengingatkan kepada para khatib untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah di atas mimbar-mimbar pada hari Jumat. Seandainya tidak ada manfaat dari doa para khatib di atas mimbar selain sebagai bentuk pengajaran kepada para hadirin dan kaum muslimin, niscaya hal itu sudah cukup. 

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Disunnahkan bagi para khatib untuk mendoakan kebaikan dunia dan akhirat bagi kaum muslimin. Demikian pula disunnahkan untuk mendoakan kebaikan untuk pemimpin kaum muslimin dan pemerintah mereka agar mendapatkan kebaikan dan taufik. Doa kebaikan untuk pemimpin dan pemerintah di dalam khutbah merupakan hal yang sudah dikenal kaum muslimin dan demikianlah yang senantiasa mereka amalkan. Sebab, mendoakan pemerintah kaum muslimin dengan kebaikan dan taufik merupakan manhaj (metode) Ahlussunnah Wal Jamaah, sedangkan meninggalkannya merupakan manhaj (metode) ahli bid’ah (penyeru bid’ah). 

Imam Ahmad pernah mengatakan, ‘Seandainya kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin negara).’ Sungguh, sunnah (ajaran) ini telah ditinggalkan, sampai-sampai (sebagian) manusia merasa aneh ketika mendengar doa kebaikan untuk pemerintah. Bahkan, (sebagian orang) berprasangka buruk terhadap orang yang melakukannya (mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya).” (al-Mulakhkhas al-Fiqhi 1/264)

Hukum Orang yang Enggan untuk Mendoakan Kebaikan bagi Pemerintah 

Pertanyaan: “Wahai Syaikh semoga Allah menjaga Anda, bagaimana dengan orang yang enggan untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah?” 

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz menjawab: “Hal ini (bisa terjadi) disebabkan kejahilan orang tersebut. Sebab, doa kebaikan untuk pemerintah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, ketaatan yang paling utama, dan termasuk ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) kepada Allah dan para hamba. Ketika dikatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sungguh, kabilah Daus telah bermaksiat dan kafir,” beliau justru berdoa,“Ya Allah, berilah hidayah kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.” Kemudian, Allah memberikan hidayah kepada kabilah Daus dan mereka mendatangi Nabi dalam keadaan telah masuk Islam. Seorang mukmin sudah sepantasnya (bersemangat) mendoakan kebaikan untuk (umat) manusia. (Jika demikian), tentu sultan (pemimpin) adalah pihak yang paling berhak untuk didoakan kebaikan. Sebab, apabila pemimpin baik, akan baik pula umat. Oleh karena itu, doa kebaikan untuk pemimpin adalah doa yang paling penting. Di antara kandungan ‘an-Nush/an-Nashiihah’ (ketulusan kepada pemerintah) yang paling penting adalah mendoakan supaya pemerintah diberi taufik untuk berada di atas kebenaran, diberi pertolongan, Allah memilihkan penasihat (pendamping) yang baik bagi pemimpin, dan Allah melindungi pemimpin dari efek negatif kejelekannya sendiri dan keburukan teman duduknya. Maka dari itu, doa kebaikan untuk pemerintah supaya diberi taufik dan hidayah, dibimbing kalbu dan amalannya, dipilihkan penasihat (pendamping) yang baik; termasuk hal yang sangat penting, dan merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling afdal. 

Sungguh, telah diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bahwa beliau berkata, “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki satu saja doa yang (pasti) dikabulkan, pasti akan aku gunakan untuk mendoakan kebaikan bagi sultan (pemimpin).” Ucapan yang semakna juga diriwayatkan dari al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/209) 

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah. 

Mari kita memperbanyak doa untuk kebaikan para pemimpin dan pemerintah di kebanyakan waktu kita. Terkhusus pada waktu-waktu mustajabah, seperti sepertiga malam terakhir, ketika seorang berpuasa sampai dia berbuka, pada malam Lailatulqadar, antara azan dan iqamah, pada suatu waktu di hari Jumat, dll. Mari kita memulai dari diri kita sendiri, kemudian keluarga kita, lalu kita sampaikan ilmu ini kepada kerabat dan teman-teman kita, dst. Apabila seluruh kaum muslimin membiasakan diri mengamalkan salah satu ibadah yang paling agung ini,yaitu mendoakan kebaikan untuk pemerintah di waktu-waktu mereka; insya Allah akan tercapai maslahat dan manfaat yang besar. Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.

Jumat, 23 Desember 2022

Lima Tahapan yang di Alami Manusia

 Assalamualaikum warahmatullah wabarrakaatuh 

kembali lagi kita jumpa di blog ini, yakni blog addinul Islam. untuk kali ini kita akan membahas tahapan tahapan kehidupan yang kita alami sebagai manusia. di dalam Alqur'an saya menmukan 5 tahapan, atau mungkin ada yang menemukan lebih dari itu, insyaallah kita belajar disini dan bermusyawarah untuk mempelajarai ilmu agama Allah, semoga Allah senantiasa memberikan kita petunjuk dan memberkahi apa yang kita pelajari. langsung saja para sahabat kita lanjutkan materinya.

Manusia  itu  mengalami lima tahapan  kehidupan :  

  1. Tahapan  ketidakadaan, 
  2. tahapan di alam rahim, 
  3. alam dunia, 
  4. alam barzakh  
  5. kemudian alam akhirat
1. Tahapan ketidakadaan adalah sebagaimana ditunjukan  oleh firman Allah :

 “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al ­Insan ; 1)

“Wahai manusia jika kamu ragu kepada hari kebangkitan maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian dari segumpal darah kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. Agar Kami jelaskan kepadamu dan kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi kemudian kamu menjadi dewasa. Dan di antaramu ada yang diwafatkan dan ada yang dipanjangkan umurnya hingga pikun supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang telah dia ketahui dahulu. Dan kamu lihat bumi itu kering dan apabila Kami turunkan air dari atasnya hiduplah bumi itu dan suburlah menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah.” (QS. Al­Hajj ; 5)

2. Adapun tahapan alam rahim, sebagaimana  firman  Allah:

“Dia telah menciptakan kalian dalam perut­ perut ibu ­ibu kalian kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan”. (QS. Az­Zumar ; 6)

3. Adapun tahapan kehidupan dunia,  sebagaimana  firman Allah:

“Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut­ perut ibu ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui segala sesuatu dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kalian bersyukur.” (QS. An­Nahl ; 78) 

Dan pada tahapan inilah yang  menentukan  bahagia  dan celakanya,  dan merupakan negeri ujian  dan cobaan. Sebagaimana firman Allah:

“Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan agar menguji kalian siapa di antara kalian yang paling bagus amalannya.” (QS. Al­Mulk ; 2)

4. Adapun  tahapan alam barzakh, Allah berfirman  tentangnya :

“Dan dari belakang mereka ada barzakh (pembatas) sampai hari kebangkitan.” (QS. Al­ Mu’minun ; 100)  

5. Adapun tahapan kehidupan akhirat adalah tahapan  tujuan dan ujung  dari semuanya.  Allah  berfirman  setelah menyebutkan  tahapan ­tahapan  kehidupan  manusia :

“Dan sesungguhnya setelah itu kalian akan menjadi mayit kemudian nanti di hari kiamat kalian akan dibangkitkan.” (QS. Al­ Mukminun ; 16)

Demikian postingan saya kali ini mengenai tahapan tahapan kehidupan manusia. semoga bermanfaat untuk sahabat Addinul Islam. 

Assalamualaikum warahmatullah wabarrakatuh

Selasa, 03 Januari 2017

Apa Hukum Membaca Alqur'an

Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : 
 Apakah hukum membaca Al-Qur'an, wajib atau sunnah, karena kami sering ditanya tentang hukumnya. Di antara kami ada yang mengatakan bahwa hukumnya tidak wajib, bila membacanya tidak mengapa dan jika tidak membacanya tidak apa-apa. Bila pernyataan itu benar tentu banyak orang yang meninggalkan Al-Qur'an, maka apa hukum meninggalkannya dan apa pula hukum membacanya ?

Jawaban.
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada RasulNya, keluarga dan  shabatnya, wa ba'du.

Yang disyariatkan sebagai hak bagi orang Islam adalah selalu menjaga untuk membaca Al-Qur'an dan melakukannya sesuai kemampuan sebagai pelaksanaan atas firman Allah سبحانه و تعالى.

"Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur'an)" [Al-Ankabut : 45]

Dan firmanNya.

"Artinya : Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al-Qur'an)" [Al-Kahfi : 27]

Juga firmanNya tentang nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم

"Artinya : Dan aku perintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri. Dan supaya aku membaca Al-Qur'an (kepada manusia)" [An-Naml : 91-92]

Dan karena sabda Nabi صلی الله عليه وسلم.

"Artinya : Bacalah Al-Qur'an karena sesungguhnya dia datang memberi syafa'at bagi pembacanya di hari Kiamat" [1]

Seharusnya seorang muslim itu menjauhi dari meninggalkannya dan dari memutuskan hubungan dengannya, walau dengan cara apapun bentuk meninggalkan itu yang telah disebutkan oleh para ulama dalam menafsirkan makna hajrul Qur'an. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata di dalam Tafsinya (Tafsir Ibnu Katsir 6/117) : Allah سبحانه و تعالى berfirman memberi khabar tentang Rasul dan NabiNya, Muhammad صلی الله عليه وسلم bahwa beliau berkata.

"Artinya : Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur'an ini sesuatu yang tidak diacuhkan" [Al-Furqan : 30]

Itu karena orang-orang musyrik tidak mau diam memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur'an sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى.

"Artinya : Dan orang-orang yang kafir berkata,'Janganlah kamu mendengarkan Al-Qur'an dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya" [Fushishilat : 26]

Bila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka membuat gaduh, hiruk pikuk dan perkataan-perkataan lain sehingga tidak mendengarnya, ini termasuk makna hujran Al-Qur'an. Tidak beriman kepadanya dan tidak membenarkannya termasuk makna hujran. Tidak men-tadabburi dan tidak berusaha memahaminya termasuk hujran. Tidak mengamalkannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangan-larangan termasuk makna hujran. Berpaling darinya kepada hal lain, baik berupa sya'ir, percakapan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur'an, semua itu termasuk makna hujran.

Wabillah at-taufiq wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

[Disalin dari buku 70 Fatwa Fii Ihtiraamil Qur'an, edisi Indonesia 70 Fatwa Tentang Al-Qur'an, Penyusun Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, hal. 8-11. Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Muslim no. 804, dalam Shalat Al-Musafirin wa Qashruhu, bab II dari hadits Abu Umamah Al-Bahili رضي الله عنه

Sumber: http://www.almanhaj.or.id       

Selasa, 20 Desember 2016

SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA

[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.

Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.

[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.

Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.

Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.

[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.

Allah berfirman. "Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,”  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : "Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah". Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.

[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.

Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.

Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.

Allah berfirman.
"Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]

[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.

Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.

[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.

Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.

[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.

Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.

Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.